Kahlil Gibran

0 komentar

Khalil Gibran (juga dieja Khalil Gibran; lahir Gibran Khalil Gibran, bahasa Arab: جبران خليل جبران, (6 Januari 1883 – 10 April 1931) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir di Lebanon (saat itu masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani) dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Libanon

Kahlil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Amerika Serikat

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
Karya dan kepengarangan

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Kematian

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

from: wikipedia.org

Rabindranath Tagore

0 komentar

Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861 – meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913).

Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.

Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel dikenal dan dikagumi dunia luas. Ia juga seorang reformis kebudayaan dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari aliran Rabindrasangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

Masa Masa Awal (1861 - 1901)

Tagore memiliki nama kecil "Rabi", lahir di Jasanko Mansion, adalah putra dari Debendranath Tagore dan Sarada Devi,[ε] anak bungsu dari empat belas bersaudara. Setelah menjalani upacara Upanayanam di usia sebelas tahun, (suatu prosesi upacara yang menandai bagi seorang anak laki-laki untuk memasuki masa Brahmacari, masa menuntut ilmu.) Tagore bersama ayahnya meninggalkan Kolkata pada tanggal 14 Februari 1873 untuk melakukan perjalanan panjang di India selama beberapa bulan, mengunjungi Shantiniketan dan Amritsar sebelum mencapai Dalhousie, sebuah bukit peristirahatan di kaki Himalaya. Di sini, Tagore belajar sejarah, ilmu perbintangan (astronomi), ilmu pengetahuan modern dan Bahasa Sansekerta dan mempelajari serta mendalami karya sastra klasik dari Kālidāsa.[1][2] Pada 1877, ia menjadi orang terkemuka ketika menghasilkan beberapa karya, termasuk puisi panjang dalam gaya Maithili, yang dirintis oleh Vidyapati. Sebagai sekedar lelucon, ia menyatakan bahwa ini merupakan karya yang hilang dari Bhānusiṃha, sebuah sastra dari aliran Vaiṣṇava.[3] Ia juga menulis "Bhikharini" (1877; "Wanita Pengemis" — cerita pendek pertama dalam Bahasa Bengali)[4][5] dan juga “Sandya Sangit” (1882) — termasuk di dalamnya puisi yang sangat terkenal "Nirjharer Swapnabhanga" (The Rousing of the Waterfall).

Shantiniketan (1901—1932)

Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan.[9] Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 Januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah Puri serta hak royalti atas karya-karyanya.[10] Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913 Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk diantaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912).[11] Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.

Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik.[12] Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan.[13][14] Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum Dalit (kelompok kasta rendahan).[15][16]

Anak Bajang Menggiring Angin

0 komentar

Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel fantasi pewayangan berbahasa Indonesia karya Sindhunata (atau "Rama Sindhu") yang diterbitkan tahun 1983 oleh Gramedia Jakarta. Novel ini merupakan novelisasi dari serial "Ramayana" yang dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu di tahun 1981. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan oleh Sindhunata, serial tersebut diterbitkan dalam bentuk buku ini. [1]

Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia. Menurut catatan di akhir versi cetakan kedelapan (2007), beberapa pengamat mengatakan bahwa kekuatan buku ini terletak dalam bahasanya yang bergaya sastra, terutama dalam "corak liriknya yang puitis dan ritmis". [1] Judulnya sendiri, "Anak Bajang Menggiring Angin" (dalam bahasa Jawa, "Bajang" berarti "kecil", "kerdil", atau "cacat"; "Anak Bajang" berarti "anak yang sengaja dibuang orang tuanya") adalah sebuah metafor yang dapat diinterpretasi ke banyak arti oleh pembacanya. Perjalanan buku ini telah menjadikannya sebuah karya sastra Indonesia yang klasik, dimana beberapa potongan kisahnya telah menginspirasi lahirnya sejumlah karya seni tari dan teater di Indonesia. Di banyak SMU di Indonesia, buku ini dipakai sebagai bahan pelajaran di bidang sastra.

Latar belakang

Buku ini merupakan penyempurnaan dari "Kakawin Ramayana" dari versi pewayangan Jawa. Versi ini ditulis oleh Sindhunata dan dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu di tahun 1981. Walaupun Sindhunata menulis buku ini dengan sumber dari kisah Ramayana yang populer di masyarakat budaya Jawa, kisah ini dapat dibilang baru karena yang digambarkan dalam buku ini adalah harapan-harapan dan kerinduan dari Sindhunata sendiri, yang diwarnai dan dilatarbelakangi kebudayaan Jawa di mana budaya wayang sangat berperan kuat dalam filsafat kehidupan sehari-hari. Sindhunata menggunakan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif tersebut untuk membantu menuangkan maksudnya tersebut.

Sindhunata menulis buku ini untuk menggugah dan membuat pembacanya berpikir tentang harga dan nilai sebuah cita-cita, di mana dia menampilkan sebuah kisah tentang impian yang seakan-akan tampil sebagai cita-cita dan sebaliknya. Bagi sebagian pengamat sastra, kisah buku ini adalah sebuah representasi perlawanan yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas nasib dan kekuasaan.

Sinopsis

Dengan gaya bahasa sastra Sindhunata yang khas, penuh diwarnai imajinasi simbolik, dan dengan penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini menyajikan versi Jawa kisah Ramayana, menjadi sebuah penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra. Cerita dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang mengandung sesuatu kemustahilan dan asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari kenyataan keseharian manusia. Dengan kekuatan tersendiri kisah ini menampilkan impian-impian itu menjadi suatu jalinan kisah insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai cita-cita yang dirindukan manusia. Siapa dapat memastikan apakah sebuah kenyataan itu sesungguhnya impian dan sebuah impian itu justru sesungguhnya kenyataan? Dengan menggugah pembaca, buku ini merujuk pada harga yang mahal dan nilai yang tinggi yang dimiliki impian manusia.

Sekutip dari kisah buku: "Terimalah perhiasanku ini, Nak," kata Dewi Sukesi. Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna. Mendadak alam pun membalik ke masa lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita. Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai. Gelombang lautan hendak menelan anak-anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu kegagalannya untuk memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarnalah kini penderitaan itu menjadi raja."

Sindhunata

0 komentar

Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata (lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, 12 Mei 1952; umur 57 tahun) dan juga dikenal dengan panggilan populernya Rama Sindhu (atau dibaca "Romo Sindhu" dalam bahasa Jawa) adalah seorang imam Katolik, anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan "BASIS". Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampungnya di kaki Gunung Panderman.

Karir

Sindhunata pernah pula bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis komentar tentang sepak bola, dan berbagai masalah kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai penulis. Novelnya yang terkenal adalah "Anak Bajang Menggiring Angin" (1983, Gramedia).

Dalam bidang organisasi, mendirikan komunitas "PANGOENTJI" (Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe, BI: Paguyuban minum ciu) yang melibatkan diri pada bidang seni dan budaya.

Kini Sindhunata menetap di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta.

Karya tulis

* Putri Cina , Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2007)
* Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas
* Kambing Hitam:Teori Rene Girard,Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2006)
* Burung-burung di Bundaran HI,Penerbit Buku Kompas
* Ekonomi Kerbau Bingung, Penerbit Buku Kompas
* Bola di Balik Bulan, Penerbit Buku Kompas (2002)
* Bola-bola Nasib, Penerbit Buku Kompas
* Air Mata Bola, Penerbit Buku Kompas
* Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (2004)
* Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) - editor
* Air Kata-kata (2003)
* Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
* Long and Winding Road, East Timor (2001)
* Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - editor
* Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
* Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - editor
* Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
* Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
* Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
* Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
* Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
* Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Cikar Bobrok (1998)
* Mata Air Bulan (1998)
* Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - editor
* Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
* Semar Mencari Raga (1996)
* Aburing Kupu-kupu Kuning (1995)
* Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
* Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - Disertasi
* Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
* Anak Bajang Menggiring Angin (1983, Gramedia)

Pengaruh dalam budaya populer

* Puisi-puisi yang ditulis Sindhunata dalam kumpulan puisinya, "Air Kata-Kata" (2003) sebanyak 13 telah digunakan sebagai lirik lagu rap berwarna musik Jawa, seperti: "Ora Cucul Ora Ngebul", "Rep Kedhep", dan "Ngelmu Pring" (oleh Rotra); dan "Cintamu Sepahit Topi Miring" (oleh Jahanam). [2]


Pendidikan

Sindhunata lulus dari Seminarium Marianum, Lawang, Malang (1970). Pendidikan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta (1980), Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta (1983), kemudian mendapatkan gelar doktor dari Hochschule für Philosophie, München, Jerman (1992) dan menulis disertasinya tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa.

Tari Bedhoyo

0 komentar


Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".

Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen alat gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.


Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan : (1) Adat Upacara(seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan atau tari Perkawinan.

Adat Upacara

Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidakdibenarkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini.
Sakral

Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus. Bahkan di percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir selalu hadir juga bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka indrawinya saja sang pencipta mampu dilihat.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini terlihat membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya. Ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.



2. Religius Segi religius dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada yang berbunyi : …tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar …yen mati ngendi surupe, kyai?” (……kalau mati kemana tujuannya, kyai?).

3. Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan

Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan,pemirsa yang mengerti kata-katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama 2 1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja.Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu masih ditaati benar. Walaupun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.

Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada waktu pergelarannya.Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci.Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang tersedia,diperlukan penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhannya hal ini akan menambah keagungan suasana pagelaran nantinya.

Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ?

Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng ratu Kidul Kencanasari,yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera . Pusat daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta.

Tetapi menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem niyaga Kraton Solo), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja Mataram.Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan, terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut “Lenggotbawa”. Iringan gamelannya awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas:

1. gending - kemanak 2, laras jangga kecil /manis penunggul;
2. kala - kendhang

3. sangka - gong
4. pamucuk - kethuk

5. sauran - kenong.


Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul.Bahkan menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta “lenggotbawa” adalah Bathara Wisnu, Tatkala duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah telah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita,yang kemudian menari-nari mengitari Bathara Wisnu dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya. Karena dewa dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya.

Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun.bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan.)

Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai “sangkan paran”.Selanjutnya begitu beliau mau memperistri Kangjeng Ratu Kidul, konsewensinya secara turun temurun. keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya.

Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Dan ini kemudian memang terlaksana. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangjeng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir.

Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Beghaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong Gamelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar).Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka (meng-“kanan”kan). Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
Srimpi Anglirmendhung

Ada lagi satu tarian yang juga termasuk keramat, ialah Srimpi Anglirmendhung. Tarian Srimpi ini diduga lebih muda daripada Bedhaya Ketawang. Kedua tarian ini ada kemiripannya, bila ditilik dari:

a. MENDHUNG = awan; Tempatnya di langit (=TAWANG)

b. Dipakainya kemanak sebagai alat pengiring utama

c. Pelaksanaan tariannya juga dibagi menjadi 3 babak

Menurut R.T. Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh

K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian inidirubah sedikit, menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas empat penari saja



Namun begitu mengenai kekhudusan dan kekhidmatannya tiada bedanya dengan Bedhaya Ketawang, meskipun dalam pergelarannya Srimpi Anglirmendhung boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bedhaya Ketawang hanya stu kali setahun dan hanya di dalam keraton, di tempat tertentu saja.

Bila akan ditinjau keistimewaan Bedhaya Ketawang, letaknya terdapat dalam hal:

1. Pilihan hari untuk pelaksanaannya, yaitu hanya pada haru Anggarakasih. Bukan pada pergelaran resminya saja, melainkan juga pada latihan-latihannya.

2. Jalannya penari di waktu keluar dan masuk ke Dalem Ageng. Mereka selalu mengitari Sinuhun dengan arah menganan.

3. Pakaian penari dan kata-kata dalam hafalan sindhenannya.

Pakaian: Mereka memakai dodot banguntulak). Sebagai lapisan bawahnya dipakai cindhe kembang, berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan bunta. Riasan mukanya seperti riasan temanten putri. Sanggulnya bokor mengkureb lengkap dengan perhiasan-perhiasannya, yang terdiri atas: centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul dan memakai tiba dhadha (untaian rangkaian bunga yang digantungkan di dada bagian kanan).

4. Kata-kata yang mengalun dinyanyikan oleh suarawati jelas melukiskan rayuan yang dapat merangsang rasa birahi. Dari situ dapat diperkirakan bahwa Bedhaya Ketawang dapat juga digolongkan dalam “Tarian Kesuburan” di candi, yang inti sarinya menggambarkan harapan untuk mempunyai keturunan yang banyak.

5. Gamelannya berlaras pelog, tanpa keprak. Ini suatu pertanda bahwa Bedhaya Ketawang ini termasuk klasik.

6. Rakitan taridan nama peranannya berbeda-beda. Dalam lajur permulaan sekali, kita lihat para penari duduk dan menari dalam urutan tergambar dibawah in

Dalam melakukan peranan ini para penari disebut:
1. Batak

2. Endhel ajeg

3. Endhel weton
4. Apit ngarep

5. Apit mburi

6. Apit meneg
7. Gulu

8. Dhada

9. Boncit


Selama menari tentu saja susunannya tidak tetap, melainkan berubah-rubah, sesuai dengan adegan yang dilambangkan. Hanya pada penutup tarian mereka duduk berjajar tiga-tiga.

Dalam susunan semacam inilah pergelaran Bedhaya Ketawang diakhiri, disusul dengan iringan untuk kembali masuk ke Dalem Ageng, juga dengan cara mengitari dan menempatkan Sinuhun di sebelah kanan mereka semua.

7. Bedhaya Ketawang juga dapat dihubungkan dengan perbintangan. Kita perhatikan kata-kata yang dicantumkan dalam hafalan nyanyian pesindennya. Di antaranya yang berbunyi:

Anglawat akeh rabine Susuhunan, nde,

Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde,

SOSOTYA gelaring mega, Susuhunan kadi Lintang kusasane.

(Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:

Dalam perlawatan Susuhunan banyak menikah,

Dalam perlawatan Susuhunan banyak permaisurinya,

Permata yang bertebaran di langit yang membentang,

Susuhunan berkuasa, bak bintang.)


Dalam hal ini kekuasaan Sinuhun diumpamakan bintang.Sedikit catatan bolehlah ditambahlan, bahwa Jawa juga mengenal perbintangan, dengan nama-namanya sendiri seperti: Lintang Luku, Lintang Kukusan, Gemak Tarung, Panjer Rina, Panjer Sore (di antara anak-anak dahulu bintang ini juga sering dinamakan “ting negara Landa”).

Di dalam lagu Jawa dikenal juga hafalan yang bunyinya:Irim-irim Lanhjar Ngirim, Gubug Penceng anjog, wus manengah Prauke sang raden, Jaka Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sekti, nitih Kuda Dhawuk. (Mijil)

Sakral

Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.

KANGJENG RATU KIDUL

Siapakah sesungguhnya Kangjeng Ratu Kidul itu ? Benarkah ada dalam kesungguhannya, ataukah hanyadalam dongeng saja dikenalnya? Pertanyaan ini pantas timbul, karena Kangjeng Ratu Kidul termasuk mahluk halus. Hidupnya di alam limunan, dan sukar untuk dibuktikan dengan nyata. Pada umumnya orang mengenalnya hanya dari tutur kata dan dari semua cerita atau kata orang ini, bila dikumpulkan akan menjadi seperti berikut:

1. Menurut cerita umum, Kangjeng Ratu Kidul pada masa mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk halus.

2. Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata lara berasal dari rara, yang berarti perawan (tidak kawin).

Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantik tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri di dalam suatu telaga, di pinggir samudera.

Konon pada suatu hari, tatkala akan membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang rusak, sang putri lalu terjun ke laut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi mahluk halus. Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kangjeng Ratu Angin-angin.Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kangjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjad ratu mahluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan, mulai dari daerah Yogyakarta sampai dengan Banyuwangi, hanya terpisah oleh desa Danamulya yang merupakan daerah penduduk Kristen.Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudera selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur di dalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang,Tuan Welter, seorang warga Belanda yang dahulu menjadi Wakil Ketua Raad Van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolor di Kepajen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, yang khusus diadakan untuk Nyai Lara Kidul. Ditunjukkannya gambar (potret) sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Lara Kidul. Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan di daerah Ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur Ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sampai sekarang. Apakah rumah ini yang terlukis dalam gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan.

seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tahun 1955 pernah ada serombongan orang-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan kramat) di pulau karang kecil, sebelah timur Ngliyep. Seorang di antara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakan ialah bahwa merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.

7. Di Pacitan ada keparcayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung (hijau lembayung), yang erat hubungannya dengan Nyai Lara Kidul. Bila ini dilanggar orang akan orang akan mendapat bencana. Ini dibuktikan dengan terjadinya suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta 2 orang anaknya. Mereka bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut, bahkan mengejek dan mencemoohkan. Pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba hijau. Terjadilah sesuatu yang mengejutkan, karena tiba-tiba ombak besar datang dan kembalinya ke laut sambil menyambar tiba-tiba menyambar keempat orang Belanda tersebut di atas.

8. Seorang dhalang di Blitar menceritakan bahwa di daerahnya sampai ke gunung Kelud masih ditaati pantangan Kangjeng Ratu Kidul, ialah memakai baju hijau. Tak ada seorang pun yang berani melanggarnya.

9. Sampai pada waktu akhir-akhir ini orang masih mengenal apa yang disebit “lampor”, yaitu suatu hal yang yang dipandang sebagaiperjalanan Kangjeng Ratu Kidul, yang naik kereta berkuda. Suaranya riuh sekali, gemerincing bunyi genta-genta kecil dan suara angin meniup pun membuat suasana menjadi seram. Orang lalu berteriak “Lampor! Lampor! Lampor!”, sambil memukul-mukul apa saja yang dapat dipukul, dengan maksud agar tidak ada pengiringnya yang ketinggalan singgah di rumahnya, untuk mengganggu atau merasuki.

10. Menurut “penglihatan” seorang pemimoin Teosofi, bangsa Amerika, Kangjeng Ratu Kidul bukan pria, bukan pula wanita. Dan dikatakannya, bahwa Kangjeng Ratu Kidul dapat digolongkan sebagai Dewi Alam, dalam hal ini Dewi Laut.

Di Jawa masih dikenal tiga jenis lainnya, ialah:

a. Disebelah timur adalah Kangjeng Sunan Lawu, Dewa Gunung. Menurut ceritanya semula adalah Raden Guntur, seorang putra keturunan Majapait yang meloloskan diri pada masa jatuhnya Majapait, lari sampai ke puncak Lawu;

b. Disebelah barat di gunung Merapi ialah Kangjeng Ratu Sekar Kedhaton. Tidak begitu dikenal ceritanya.

c. Disebelah utara adalah hutan Krendhawahana, dikuasai oleh Bathari Durga atau Sang Hyang Pramoni, Dewi Hutan. Menurut mereka yang pernah melihatnya, wujudnya seperti reksesi. Untuknya kraton selalu membuat sesji yang paling luar biasa, ialah Maesalawung, karena Dewi ini yang dianggap sebagai penjaga negeri seisinya.

Maesalawung atau Rajaweda diberikan setiap bulan Rabingul-akhir, padahari Senin atau Kamis yang terakhir. Sesaji diberiakan di Sitinggil. Do’a yang dibaca adalah do’a Buda, sedang rapal yang diucapkan merupakan campuran Jawa dan Arab Sesaji Maesalawung ini adalah Bekakak, dibuat dari tepung, berbentuk manusia lelaki dan perempuan, tidak berbusana;Badheg, arak yang dibuat dari siwalan atau aren, semangkuk;

Hajad ini dibawa ke hutan Krendhawahana, diletakkan di pinggir sumur Gumuling.Yang diperintah membawanya adalah abdi dalem Suranata, ialah abdi dalem yang tergolong para mutihan (ulama) yang berdiri sendiri dengan kewajiban:

a. -mamberi sesaji sebelum suatu upacara diadakan demi keselamatan negeri seisinya.

b. - Mancari dan memperhitungkan hari atau waktu yang baik untuk suatu kepeluan, langsung disampaikan kepada Sinuhun, tanpa melalui penghulu. Ini suatu sisa adat kerajaan bagian keagamaan.

Kesimpulan mengenai Kanjeng Ratu Kidul ialah, bahwa adanya bukanlah hanya dalam dongeng atau tahayul saja. Ini adalah hal yang nyata ada, tetapi yang tidak termasuk dalam alam manusiawi, melainkan dalam alam limunan (alam Mahluk halus). Ia bukan di dalam alam kita, manusia biasa. Yang dapat menerobos alamnya hanya manusiatama seperti Wong Agung Ngeksi Ganda saja, ialah yang dapat menguasai kedua alam, baik alam manusia maupun alam mahluk halus. Dua alam yang melambangkan suatu dwitunggal yang suci.

-Dodot banguntulak adalah kain panjang berwarna dasar biru tua, dengan warna putih di bagian tengah.

-Buntal adalah untaian daun pandan, puring dan beberapa macam lainnya diselingi bunga-bungaan.

Dalam melaksanakan tugasnya para penari Bedhoyo Ketawang yang berjumlah sembilan orang penari putri ini harus dalam keadaan bersih secara spritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu beberapa hari sebelumnya para penari diwajibkan untk berpuasa. Komposisi penari Bedboyo Ketawang terdiri dari, Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit Meneng, Dadha dan Buncit. Dari ke sembilan penari tersebut, Pembatak dan Endhel sangat memegang peranan penting Pada salah satu adegan, kedua penari ini melakukan adegan percintaan. Ditelaah dari syair yang dilantunkan oleh Sindhen dan Waranggana, tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan percintaan antara raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kencanasari/Kidul. Hanya saja semuanya diwujudkan secara abstrak dan sangat simbolis. Karena pertunjukan tari Bedhoyo Ketawang bertujuan mereaktualisasikan hubungan cinta secara spiritual antara Raja Mataram dengan Ratu Kencanasari maka kebanyakan sesaji yang ditempatkan di atas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan.

Tari Sekar Jagat

0 komentar


Tarian ini merupakan garapan kelompok yang ditarikan sejumlah penari putri (biasanya antara 5 sampai 7 orang) yang masing-masing membawa sebuah canangsari. Tarian penyambutan ini menggambarkan kegembiraan para penari dalam menyambut para tamu yang hadir. Kegembiraan ini diungkapkan melalui keindahan gerak. Tarian ini diciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem (yang juga sebagai penata busananya) pada tahun 1993 dalam rangka pembukaan Pameran Wastra Bali di Jakarta. Penata iringannya adalah I Nyoman Windha. Tarian ini diilhami oleh tarian upacara, Rejang dan Pendet dari daerah Asak (Karangasem). (Wayan Dibia 1999 : 49)

From: sekartampaksiring.org

William Shakespeare

0 komentar

William Shakespeare (lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 26 April 1564 – meninggal di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 23 April 1616 pada umur 51 tahun) adalah seorang penulis Inggris yang seringkali disebut orang sebagai salah satu sastrawan terbesar Inggris. Ia menulis sekitar 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, dan 154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain. Ia menulis antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung lebih daripada semua penulis sandiwara yang lain.

Kehidupan
Shakespeare lahir di Stratford-upon-Avon, Inggris, pada bulan April 1564, sebagai putra John Shakespeare dan Mary Arden. Ayah William cukup kaya ketika ia lahir dan memiliki bisnis pembuatan sarung tangan namun kemudian ia menjadi agak miskin setelah menjual wol secara ilegal. Shakespeare tidak mengikuti jejak ayahnya.

Pada zaman itu, sekolah umum baru dimulai di Inggris. Sebelumnya, hampir semua anak tidak tahu cara membaca dan menulis, mereka hanya belajar suatu ketrampilan atau bertani. Shakespeare pergi ke salah satu sekolah umum yang baru ini. Ia belajar Latin, yang merupakan bahasa semua kaum terpelajar, tidak peduli dari negara mana mereka berasal. Dari London ke Lisbon, dari Aleksandria ke Konstantinopel, dari Tunis ke Yerusalem, semua orang terpelajar berbicara Latin dan bahasa ibu mereka. Semua dokumen penting, baik dokumen negara, gereja, atau perdagangan, ditulis menggunakan Latin.

Shakespeare juga mempelajari karya-karya para penulis dan filosofer dari Yunani Kuno dan Romawi. Lebih dari 100 tahun berlalu sejak Yohanes Gutenberg memperkenalkan percetakan ke Eropa pada tahun 1452. Shakespeare dan orang Inggris lain yang dapat membaca ─ dan mampu membeli ─ buku-buku menjadi akrab dengan kisah-kisah dari berbagai tempat seperti Italia, Perancis, Asia Minor, dan Afrika Utara. Beberapa kisah-kisah ini menjadi dasar cerita-cerita terbesar Shakespeare. Contohnya, The Golden Ass karya Apuleius, sebuah kisah kuno dari Afrika Utara, kemungkinan merupakan kisah yang menginspirasikan Impian di Tengah Musim. Shakespeare meminjam cerita untuk Romeo dan Juliet dari seorang penulis Inggris lain, yang mendapatkannya dari seorang penulis Perancis, yang menterjemahkannya dari kisah abad ke-16 oleh Luigi da Porta dari Italia yang bersumpah bahwa cerita tersebut adalah berdasarkan cerita nyata.

Sampul muka Folio Pertama, 1623. Gambar Shakespeare oleh Martin Droeshut

Di dalam dunia Shakespeare, terdapat susunan-susunan yang telah diterima secara umum. Hampir semua orang di Inggris adalah Kristen. Di hierarki terbawah terdapat kaum pekerja, di atasnya para petani dan pedangang, lalu para pendeta dan pengawal, lalu naik lagi para ksatria, tuan tanah, uskup agung, dan para adipati. Sang monarki bertahta di puncak tatanan sosial. Di Inggris, monarki tersebut adalah Ratu Elizabeth I (yang dilanjutkan dengan kemenakannya, James I).

Elizabeth I memerintah Inggris hampir selama hidup Shakespeare. Pada zaman tersebut tidak ada peperangan. Diplomasi sang ratu membuat kedua seterunya Perancis dan Spanyol terjaga seimbang. Perdagangan berkembang. London menjadi kota yang padat, ramai, dan penuh dengan peluang. Rumah-rumah sandiwara dibangun di London; teater-teater tersebut adalah tempat yang populer dikunjungi masyarakat.

Sistem kelas pada zaman Shakespeare dapat saja sudah memiliki susunan-susunan, namun hal tersebut tidak statis. Orang-orang mulai berpikir tentang mereka sendiri. Shakespeare hidup di zaman Renaissans yang berarti "kelahiran kembali" yang terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-17 di Eropa.

Renaissans Eropa menghidupkan kembali pembelajaran klasik. Pada zaman tersebut terdapat gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Suatu dunia yang tua dan stagnan tiba-tiba berubah menjadi hidup dan vibran. Meskipun hampir semua orang percaya bahwa susunan matahari, bulan, bintang, dan planet mempengaruhi nasib mereka, beberapa orang mulai merubah cara berpikir mereka tentang diri mereka dan dunia yang mereka tinggali. Mereka mulai memahami kekuasaan dan posisi pemerintahan diciptakan oleh manusia, bukan ditentukan oleh Tuhan sejak lahirnya. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya agama di dunia. Dan karena banyak di antara mereka mulai dapat membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaissans menggunakan cara mereka sendiri-sendiri untuk mencari rejeki dan mengembangkan kehidupan mereka. Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

Pada awal 1590an, William Shakepseare mengokohkan dirinya sebagai seorang penulis sandiwara dan aktor di London. Selain itu, ia juga memiliki bagian dari rumah sandiwara tempat ia dan teman-temannya bermain. Itu mungkin adalah sumber penghasilannya. Shakespeare menikahi Anne Hathaway, yang delapan tahun lebih tua daripadanya, pada tanggal 28 November 1582 di Temple Grafton, dekat Stratford. Anne kala itu hamil tiga bulan. Bersama-sama mereka dikaruniai tiga anak: Susanna, dan si kembar Hamnet dan Judith. Istri dan ketiga anaknya tinggal di Stratford, dan kemungkinan besar Shakespeare pergi mengunjungi mereka setahun sekali. Pada tahun 1596 Hamnet meninggal dunia. Karena kemiripan nama, banyak orang berpikir bahwa hal ini mengilhaminya untuk menulis The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark.

Shakespeare menjadi orang teater yang sangat terkenal, sangat populer, dan sangat kaya. Ratu Elizabeth I sangat menyukai karya-karyanya; begitu pula dengan Raja James I, penerusnya. Pada pemerintahan James I, Shakespeare dan kawan-kawan terkenal dengan sebutan "Orang-orang Raja" karena Raja James I adalah pengunjung mereka yang spesial. Shakespeare dan Orang-orang Raja bermain di istana kerajaan, di teater Globe dan di rumah sandiwara mereka, dan teater Blackfriars. Untuk mendapatkan lebih banyak uang, mereka juga mengadakan tur keliling Inggris, terutama pada saat-saat wabah penyakit menjangkit Inggris.

Orang-orang zaman Elizabeth tidak memandang pemain atau penulis sandiwara adalah pekerjaan yang terhormat. Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke teater pada saat ini, hal itu lebih seperti pergi menonton pertandingan sepak bola!

Teater-teater zaman Elizabeth merupakan bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Para penonton duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater terbuka atapnya karena pada zaman itu belum ada penerangan buatan. Ribuan orang berjejalan di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton berteriak-teriak di belakang para aktor. Teater Globe adalah tempat yang padat pengunjung, bising, dan berjejal-jejalan.

Puluhan ribu orang yang memadati untuk melihat sandiwara Shakespeare akan dapat mendengar 1700 kata yang diciptakan oleh Shakespeare. Banyak kata-kata ciptannya yang saat ini masih digunakan. Contohnya: "deafening" (menulikan), " hush", " hurry" (lekas), " downstairs" (di bawah), " gloomy" (sedih), " lonely" (sendirian), " embrace" (pelukan), " dawn" (senja). Ejaan yang digunakan Shakespeare pun berbeda dari zamannya. Orang-orang zaman Elizabeth mengeja kata-kata seperti yang tertulis, seperti Latin dan Indonesia. Tidak ada cara "yang benar" untuk mengeja. Orang-orang menulis suatu kata seperti ejaan yang mereka inginkan. Jika ingin menulis "me" (saya) tapi ingin memberikan penekanan pada kata tersebut, maka kata tersebut akan dituliskan "mee". Jika sang penulis ingin kata tersebut dibaca seperti orang berteriak dari atap rumah, maka kata tersebut akan dituliskan "Meee".

Dalam teks Shakespeare akan dijumpai kata "stayed" (tinggal) dieja "stay'd", karena Shakespeare ingin mengucapkan kata tersebut sebagai satu suku kata (baca: 'steid') seperti ejaan bahasa Inggris sekarang, bukan dua suku kata (baca: 'stei-ed'). Bahasa Inggris modern banyak menggunakan penulisan dari zaman dahulu namun dengan menggunakan ejaan yang baru. Contohnya kata "knight" (ksatria) dulunya dieja sama seperti tulisannya (baca: 'k-ni-gh-t' 4 suku kata). Di dalam budaya oral seperti zaman Shakespeare, orang-orang mempedulikan detil intonasi, nada suara, dan bunyi yang ditimbulkan pada waktu mereka berbicara sehingga bahasa lisan yang digunakan lebih kaya pada zaman dahulu daripada zaman sekarang.

William Shakespeare menulis selama dua puluh lima tahun, menciptakan tiga puluh enam hingga tiga puluh sembilan karya yang diketahui hingga saat ini. Topik yang dicakup beragam mulai dari romans komik hingga perang saudara, dari permainan domestik hingga kejadian politis yang menggegerkan dunia. Namun tiga hal yang mendasari seluruh karyanya adalah pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya untuk hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan?

Sandiwara Shakespeare menawarkan pemahaman yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itulah sebabnya mengapa ahli-ahli literatur mempelajari karyanya, politikus-politikus mengutipnya, filosofer-filosofer menemukan cara berpikir yang baru dari membaca dan membaca ulang karyanya. Mempelajari Shakespeare adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis, politis, filosofis, sosial, spiritual. Ritme yang digunakannya dalam kata-katanya terefleksi dalam ritme tubuh kita. Memainkan peranan sandiwara Shakespeare di panggung membuat seseorang menyadari seberapa dalam seseorang harus menarik napas supaya suaranya dapat terdengar sampai ujung ruangan.

Shakespeare berhenti menulis pada tahun 1611 dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian pada 1616. Sampai wafatnya ia tetap menikah dengan Anne. Pada batu nisannya tertulis: "Blest be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones." (bahasa Indonesia: "Terbekatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku."

Tulisan

Shakespeare menulis tentang keadaan manusia yang sangat manusiawi. Ia memahami apa yang hampir semua orang ingini: untuk menyayangi orang lain, dan disayangi oleh orang lain; makan, minum, dan tidur dengan tenang; untuk hidup di tengah dunia yang besar dan memiliki arti di dalam hidup. Shakespeare juga memahami bahwa manusia memiliki kelemahan-kelemahan yang terkadang jauh dari rencana-rencana mereka yang terhormat (atau tidak terhormat). Shakespeare adalah seorang jenius yang menunjukkan pada kita diri kita sesungguhnya.

Daftar karya

Tragedi

* Romeo and Juliet
* Macbeth
* King Lear
* Hamlet
* Othello
* Titus Andronicus
* Julius Caesar
* Antony and Cleopatra
* Coriolanus
* Troilus and Cressida
* Timon of Athens

Komedi

* The Comedy of Errors
* All's Well That Ends Well
* As You Like It
* A Midsummer Night's Dream
* Much Ado About Nothing
* Measure for Measure
* The Tempest
* Taming of the Shrew
* Twelfth Night, or What You Will
* The Merchant of Venice
* The Merry Wives of Windsor
* Love's Labour's Lost
* The Two Gentlemen of Verona
* Pericles Prince of Tyre
* Cymbeline
* The Winter's Tale

Sejarah

* Richard III
* Richard II
* Henry VI, part 1
* Henry VI, part 2
* Henry VI, part 3
* Henry V
* Henry IV, part 1
* Henry IV, part 2
* Henry VIII
* King John

Puisi

* Shakespeare's Sonnets
* Venus and Adonis
* The Rape of Lucrece
* The Passionate Pilgrim
* The Phoenix and the Turtle
* A Lover's Complaint

Dewi Lestari

0 komentar

Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee (lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976; umur 34 tahun) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia. Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia juga dikenal luas sebagai novelis.

Karir menyanyi

Dee terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm). Sejak kecil Dee telah akrab dengan musik. Ayahnya adalah seorang anggota TNI yang belajar piano secara otodidak. Sebelum bergabung dengan Rida Sita Dewi (RSD), Dee pernah menjadi backing vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Sekitar bulan Mei 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita Dewi (RSD) atas prakarsa Ajie Soetama dan Adi Adrian.

Trio RSD meluncurkan album perdana, Antara Kita pada tahun 1995 yang kemudian dilanjutkan dengan album Bertiga (1997). RSD kemudian berkibar di bawah bendera Sony Music Indonesia dengan merilis album Satu (1999) dengan nomor andalan antara lain, "Kepadamu" dan "Tak Perlu Memiliki". Menjelang akhir tahun 2002, RSD mengemas lagu-lagu terbaiknya ke dalam album The Best of Rida Sita Dewi dengan tambahan dua lagu baru, yakni "Ketika Kau Jauh" ciptaan Stephan Santoso/Inno Daon dan "Terlambat Bertemu", karya pentolan Kahitna, Yovie Widianto. Pada tahun 2006, Dee meluncurkan album berbahasa Inggris berjudul Out Of Shell, dan tahun 2008 melucurkan album RectoVerso,Album Ini mengundang Arina Mocca berduet di lagu Aku Ada dan berduet di lagu "Peluk" dengan Aqi Alexa. Hits besarnya adalah "Malaikat Juga Tahu". Di Album ini juga Dee merilis ulang lagu milik Marcell Siahan berjudul "Firasat".

Karir Menulis

Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau Dee telah sering menulis. Tulisan Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul "Sikat Gigi" pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul "Ekspresi" ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul "Rico the Coro" yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah.

Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris.

Supernova pernah masuk nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.

Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul "Akar" pada 16 Oktober 2002. Novel ini sempat mengundang kontroversi karena dianggap melecehkan umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang OMKARA/AUM yang merupakan aksara suci BRAHMAN Tuhan yang Maha Esa dalam HINDU sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya disepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada cetakan ke 2 dan seterusnya.

Pada bulan Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode PETIR. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam PETIR. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut.

Lama tidak menghasilkan karya, pada bulan Agustus 2008, Dee merilis novel terbarunya yaitu RECTOVERSO yang merupakan paduan fiksi dan musik. Tema yang diusung adalah Sentuh Hati dari Dua Sisi. Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi. Buku RECTOVERSO terdiri dari 11 fiksi dan 11 lagu yang saling berhubungan. Tagline dari buku ini adalah Dengar Fiksinya, Baca Musiknya. Website khusus mengenai ulasan buku RECTOVERSO ada di www.dee-rectoverso.com

Pada Agustus 2009, Dee menerbitkan novel Perahu Kertas.

Kehidupan pribadi

Dee menikah dengan penyanyi R&B, Marcell Siahaan pada 12 September tahun 2003. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Keenan Avalokita Kirana (lahir 5 Agustus 2004). Pertengahan tahun 2008 pernikahan mereka retak karena diduga ada orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Dee menggugat cerai suaminya di Pengadilan Negeri Bale Bandung pada tanggal 27 Juni 2008.[1]

Dewi kemudian menikah lagi dengan Reza Gunawan tanggal 11 November 2008 di Sydney.

Diskografi
1995 - Antara Kita (bersama RSD)
1997 - Ber-Tiga (Bersama RSD)
1999 - I (bersama RSD)
2002 - The Best Of (bersama RSD)
2006 - Out Of The Shell (album solo)
2008 - Rectoverso (album solo)

from wikipedia.org

Pramoedya Ananta Toer

0 komentar

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia

Pramoedya semasa muda

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
13 Oktober 1965 - Juli 1969
Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
November - 21 Desember 1979 di Magelang

Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang

Muthmainah, Istri Pramoedya

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan

Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999
Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
The Norwegian Authors Union, 2004
Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain
Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
International PEN English Center Award, Inggris, 1992
International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Bibliografi

Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal karena kommunisme)
Keluarga Gerilya (1950)
Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
Bukan Pasarmalam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
Gulat di Jakarta (1953)
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
Korupsi (1954)
Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Cerita Dari Jakarta (1957)
Cerita Calon Arang (1957)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Arus Balik (1995)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
Arok Dedes (1999)
Mangir (2000)
Larasati (2000)
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Buku tentang Pramoedya dan karyanya
Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

From wikipedia.org

Tari Legong

0 komentar



Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.

Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.

Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.

Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.

Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.


Beberapa tari legong

Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista).

Legong Lasem (Kraton)

Legong ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.

Legong Jobog

Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak ada hasilnya.

Legong Legod Bawa

Tari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.

Legong Kuntul

Legong ini menceritakan beberapa ekor burung kuntul yang asyik bercengkerama.

Legong Smaradahana

Legong Sudarsana

Mengambil cerita semacam Calonarang.

Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.

from wikipedia.org

Tari Panji Semirang

0 komentar

Panji Semirang adalah sebuah nama dari Galuh Candrakirana yang sedang menyamar untuk mencari Raden Panji.

Tarian ini menggambarkan pengembaraan Galuh Candrakirana yang menyamar sebagai seorang lelaki untuk mencari kekasihnya Raden Panji Inu Kertapati. Tari ini termasuk tari putra halus biasanya ditarikan oleh penari putri.

Tari Panji Semirang adalah ciptaan I Nyoman Kaler pada tahun 1942.

from wikipedia.org n google.com

Tari Pendet

0 komentar

Tari Pendet

Penari pendet memegang bokor tempat bunga yang akan ditaburkan.

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.

Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

from wikipedia.org