Lilin Pencerah

0 komentar
Namaku Laksmi Candra Ningrum Suharto. Aku terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Bapakku seorang guru di sekolah negeri di Kabupaten Sleman sedangkan Ibuku adalah seorang widyaiswara. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang berumur sepuluh tahun yang bernama Astri.
Bapakku adalah seorang pekerja keras yang tekun, ulet, dan pintar. Sejak kecil, dia dididik untuk mandiri dan bekerja keras. Tidak ada kata santai dalam hidupnya. Seperti sekarang ini. Walaupun sudah bekerja sebagai seorang pegawai negeri, baginya itu masih belum cukup. Bapakku selalu menanamkan kepadaku bahwa hidup itu harus selau bekerja keras dan berusaha.
“Rum, hidup itu keras. Ada saat dimana bapak dan ibu nggak selalu bisa mencukupi kebutuhanmu. Kowe kudu bisa mandhiri. Jangan mengandalkan bapak dan ibu yang bekerja. Masa depanmu tergantung padamu. Jangan pernah mau dikendalikan dunia, tapi kendalikanlah dunia dibawah belenggumu. Dan jangan pernah lemah padanya, karena jika kau lemah, maka dunia yang akan keras padamu. Tapi keraslah, maka dunia akan lunak dan belenggu itu semakin mudah kau raih,”
Itu yang selalu dikatakan bapak padaku. Memang itu hanyalah sebuah filosofi sederhana yang sudah banyak diketahui orang. Tapi jika kita cermati, itu merupakan petuah yang sangat berharga untuk diriku kelak. Bapak menginginkan aku menjadi seorang yang tangguh dalam hidup dan bertanggung jawab terhadap masa depanku sendiri. Dia tidak ingin aku mejadi pribadi yang malas dan lemah.
*#*
Selain menanamkan nilai kerja keras, tekun, ulet, dan tanggung jawab yang tinggi, bapakku pun mengajarkanku untuk menjadi seorang yang taat beragama. Dia selalu menyuruhku untuk taat sholat lima waktu dan meyempatkan membaca ayat suci Al-Qur’an selepas sholat.
Suatu hari, Bapak melihatku menonton sebuah drama asia di salah satu TV swasta.
“Udah sholat Asar?” tanya Bapakku.
“Belum. Bentar lagi Pak,” jawabku.
“Jam berapa ini? Sudah jam setengah lima dan kamu belum sholat?”
“Tapi ini filmnya bagus. Ntar ah, tunggu iklan,” elakku.
Kulihat sorot kecewa di mata bapakku. Tapi dia mendiamkanku. Dia jarang berbicara panjang lebar. Jika tidak suka, akan jelas terlihat di raut mukanya. Namun Bapak tidak pernah mengatakan kapan dia marah, kecewa, maupun penyebabnya. Setelah bertanya kepadaku, Bapak melanjutkan sholatnya.
Saat iklan, aku segera mengambil air wudhu dan sholat asar. Tiba-tiba, Bapak memanggilku.
“Ningrum, wis shalat?”
“Udah Pak, pripun?” tanyaku.
“Kowe ki jane niat ora to dadi wong Islam?”
“Nggih niat, Pak,”
“Lha kok senengane nunda-nunda shalat? Apa iya kuwi sing jenenge niat? Kalau kamu memang merasa berat menjadi seorang muslim dan tidak sanggup menjalankan syariatnya, mbok ya sudah murtad saja. Sekalian kamu menjadi pemeluk agama lain. Entah Katolik, Kristen, Hindu, ataupun Budha, silakan. Bapak membebaskan. Tapi hanya satu yang bapak minta, jadilah pemeluk agama yang taat!”
Saat itu, aku sadar bahwa bapakku kecewa dan marah melihat aku menunda shalat namun mementingkan sebuah acara di televisi.
“Nggih, Pak. Besok nggak ngulangi lagi.”
“Walaupun bapak selalu menanamkan kerja keras, dan hal-hal duniawi lainnya, kamu harus tetap bertanggung jawab sama Gusti Allah. Kita udah diciptakan dengan tubuh yang sempurna, maka kita wajib bersyukur. Apa tindakanmu tadi mencerminkan sikap syukur kepada Tuhan?”
“Mboten, Pak,” jawabku
“Pernah kamu baca Al-Qur’an? Seberapa sering?” tanya Bapak.
“Kalau ada pelajaran agama disekolah,”
“Selebihnya?”
“Ya jarang, Pak,”
“Kitab suci itu mbok dibaca. Kamu udah dikasih mata dan tangan, kenapa apa nggak digunakan untuk hal yang baik?”
“Kamu pasti mempunyai mimpi to, Dik? Tuhan itu tau kok apa yang diinginkan umatnya. Tapi Dia ingin kita taat kepadaNya dan tidak berhenti berusaha. Kalau kamu melakukan hal yang wajib seperti sholat saja masih menunda, maka Tuhan juga akan menunda mewujudkan mimpimu. Hidup jangan hanya kamu isi untuk bermalas-malasan seperti itu,” lanjut Bapak.
“Ndhuk, kamu tau kan apa maksud bapakmu? Bapak sama Ibu itu pengen kamu jadi anak yang bener, yang pinter, berbakti sama orang tua, dan jadi anak yang sholehah. Kamu itu sudah besar, isilah hari dan hidupmu dengan kegiatan yang positif,” sambung Ibu.
*#*
Bapak dan ibuku tidak pernah memaksakan kehendakku. Mereka memberi masukan dan mengarahkanku untuk meraih cita citaku. Orang tuaku bukanlah orang tua yang otoriter dan keras. Mereka menginginkan aku menjadi anak yang taat beragama karena mereka ingin agar hidupku seimbang antar kehidpan beragam adengan kehidupan sosial.
“Hidup itu harus seimbang. Kamu nggak boleh hanya mengandalkan kecerdasanmu, ketekunanmu, kerja kerasmu tapi tanpa dasar agama. Tidak akan ada gunanya semua itu jika Tuhan tidak meridhoimu dan bersamamu.”
*#*
Kami mempunyai sebuah toko kelontong dan sebuah warung makan. Keduanya kami kelola bersama-sama. Menurut bapak, itu dia persiapkan agar aku dan adikku bisa bekerja mandiri, tidak terpancang untuk menjadi seorang pegawai.
“Kamu jangan malu kalau bertemu dengan temanmu ketika sedang melayani pembeli. Bapak membuka warung dan toko itu demi kamu. Kamu dan adikmu harus bisa bekerja. Putarlah akalmu agar menjadi orang yang kreatif. Jangan menjadi anak yang manja. Di dunia ini nggak ada tempat untuk orang yang manja dan malas. Jangan terpancang kalau bekerja harus menjadi pegawai negeri. Hidup jaman sekarang susah kalau hanya puas menjadi pegawai saja. Kalau pun menjadi pegawai, kamu pun harus mengembangkan karirmu.”
Jika aku lelah dan berhenti, bapaklah yang menyemangatiku untuk terus berlari.
“Kamu liat nggak bapak ngapain? Bapak kerja keras demi kamu dan adikmu. Kalau kerjamu cuma jatuh, menyesal, dan tanpa upaya memperbaiki diri, apa jadinya kamu besok? Masa masih mengandalkan orang tua? Kapan kamu bisa mandiri? Apa kalau Bapak dan Ibu mati kamu juga akan ikut mati?” bentak Bapak.
“Ya nggak, Pak. Masa iya aku ntar mati juga,” jawabku.
“Tapi coba liat apa yang kamu lakukan sekarang? Nggak dewasa samasekali. Memalukan!”
Pedas memang ucapan bapakku. Tapi aku sadar bahwa itu demi kemajuanku. Jadi aku selalu berusaha untuk mematuhinya.
*#*
Berbeda dengan Bapak yang selalu menanamkan keuletan dan kerja keras, Ibu selalu menanamkan kemampuan untuk mengontrol perasaan. Aku tidak boleh larut dalam emosi.
“Jadi orang itu yang sabar, yang legowo, ngalah, manut tatanan. Aja golek lega, amarga kowe mengko mesthi bakal kuciwa. Pepinginan iku ora mesthi kudu keturutan, ndhuk. Dan lagi, orang yang ngalah itu belum tentu kalah. Nggak semua hal bisa kamu selesaikan dengan emosi. Dalam hidup, kamu pun memerlukan ketahanan dan kemampuan mengontrol emosi,”Walaupun nasihat ibu hanya sedikit, namun itu sangat berarti bagiku.
*#*
Bapakku dan ibuku memang dua pribadi yang berbeda. Namun tujuan mereka satu, membimbingku untuk mengisi hari-hariku dengan hal yang positif agar kelak berguna untuk masa depanku.
Bagiku, mereka bagai lilin pencerah yang menerangiku disaat aku berjalan dalam gelap. Mereka adalah orang yang paling setia menemaniku dalam suka ataupun duka, dan mereka adalah orang yang paling mampu menerima segela kekuranganku.
Dan tepat di hari ini, bapakku berulang tahun yang ke-50. Selamat ulang tahun bapak. Terimakasih karena udah didik Ningrum, ngebesarin sampai sejauh ini, dan sabar menghadapi kenakalan Ningrum. Maaf, Ningrum belum bisa kasih apapun selama ini. Ningrum belum bisa jadi anak yang sholeh, pinter, mandiri, bahkan untuk bekerja keras pun masih tertatih. Untuk Ibu, terimakasih udah melahirkan, mendidik, sekaligus membesarkan Ningrum. Maaf kalau kadang kadang Ningrum belum bisa sabar, ngalah, dan ngontrol emosi. Tapi, satu hal yang perlu kalian tau, Ningrum sayang kalian!
If you like this post, please share it!
Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

No Response to "Lilin Pencerah"

Posting Komentar