Posted by love reading in
karyaku
Aku mempunyai seorang adik perempuan yang lahir pada tanggal 22 November tahun 2000. Namanya Astri Pangestu Rafiandhani Suharto. Dia anak bungsu di keluarga kami. Selain itu, Astri adalah siswi kelas VB di SD Piyungan Bantul. Sejak berumur satu tahun, dia menderita penyakit asma bawaan. Fisiknya pun lemah. Oleh karena itu, semua orang di rumah kami sangat memanjakannya, termasuk para pembantu dan semua saudara Bapak dan Ibu.Walaupun manja, Astri sangat rajin dan tekun belajar. Dia selalu menjadi ranking satu di kelasnya. Karena ketekunannya, suatu hari dia ditunjuk gurunya mengikuti olimpiade Ilmu Pengetahuan Alam. Dia belajar lebih giat pada saat itu.
Sehari sebelum lomba, seluruh anggota keluarga, pembantu, bahkan sanak saudara dia mintai restu.
“Bapak, Ibu, dan Mbak Ningrum, Dik Astri minta doanya ya, biar besok aku bisa menang olimpiade IPA,”
“Iya, pasti semua berdoa agar kamu menang, sayang. Mana mungkin Mbak Ningrum sama Bapak Ibu pengen kamu kalah. Iya nggak, Pak, Bu?”
“Iya dong, masa Ibu nggak pengen anak Ibu yang lucu, cantik, dan pintar ini kalah?” Sahut Ibu.
“Wah, betul itu. Belajar yang rajin ya, Nak! Supaya pintar dan dihargai orang lain. Seperti Bapak ini lho,” Timpal Bapak sambil mulai narsis.
“Wuuuuu, dasar Babeth tukang narsiiiissss!!!!!!!” Aku dan Astri menyoraki Bapak.
“Lho... Iya to? Kalau bapakmu ini gebleg, apa Ibumu ini mau? Iya tho, Istriku sing ayu dewe iki?”
“Jamila bukan jamidong, ya iya dong! Hehehe,” Sahut Ibu.
“Cie-cie, Bapak sama Ibu mau mengulang masa muda ni yee... Hahahahaha........” Sahutku dan Astri sambil tertawa.
Kami sekeluarga pun tertawa bersama.
Namun, pada malam hari sebelum olimpiade, dia stress dan grogi dan tidak bisa tidur.
“Bu, gimana ini, besok udah maju tingkat kecamatan, kalau lawanku pintar-pintar bagaimana ini?”
“Sudah, kamu kan sudah berusaha kemarin, sekarang saatnya kamu berdoa dan istirahat, agar besok kamu bisa fokus mengerjakan soal olimpiade.”
“Iya, jangan stress, nanti malah sakit lho, sudah tidur sana,” Ujar Bapak menimpali.
Akhirnya, Astri tidur lelap setelah dibujuk dan didongengi oleh Bapak. Sebenarnya, bapak tidak terlalu pintar mendongeng. Sejak saya masih kecil hingga sekarang, dongengnya hanya tentang tokoh fiksi “Cuit-Cuitan” ciptaan bapak. Dari tokoh, latar, tema, alur hingga pilihan katanya pun sama dan tidak pernah berubah. Namun, Dia tidak pernah bosan.
Keesokan harinya, Astri mengikuti olimpiade IPA tingkat kecamatan piyungan tersebut. Akhirnya, Dia berhasil menjadi juara ketiga dan berhak mengikuti seleksi tingkat Kabupaten Bantul untuk maju lagi di tingkat propinsi.
Sesampainya dirumah, Adikku bercerita dengan semangat kepada kami sekeluarga.
“Na.... na.... ni... na.... naa...,” Senandung Astri saat diperjalanan pulang dijemput Budhe Tri, pengasuhnya sejak bayi.
“Kenapa je kamu, Dik? Tumben ceria banget,” Tanya Budhe Tri.
“Wah, Budhe Tri, Aku menang juara tiga ni olimpiadenya. Asik kan?”
“Hebat dong!” Puji Budhe.
Aku dan Adikku, Astri memang dekat dan akrab dengan Budhe Tri karena dia adalah pengasuh kami sejak kecil. Hingga kini, Budhe Tri masih bekerja dirumah kami.
Ketika Ibu dan Bapak pulang dari bekerja, Astri langsung menceritakan kemenangannya dengan semangat.
‘Ibu.... Ibu... Aku menang juara tiga, Bu.”
“Wah, hebat. Selamat ya Nak. Lalu kapan kamu mau lomba lagi?”Sahut Bapak.
“Wah, kalau itu masih belum tau, Pak. Kata Bu Guru masih nunggu informasi gitu,”
“Ntar kalau menang traktir aku es krim ya, Dik. Gak mahal kok, yang dua ribuan juga nggak papa. Hehe,” Aku ikut nimbrung
“Kamu ki maunya yang gratis terus gek, Mbak!” Ujar Astri setengah bercanda dan sebal.
“Oh, iya dong. Manusiawi itu. Hahaha,” Aku tersenyum jail.
Selain pintar dan manja, Astri pun sangat lucu dan kekanak-kanakan. Contohnya, saat kami sekeluarga akan ke Jakarta pada bulan Desember tahun lalu. Saat itu, Budhe pulang dari Tanah Suci selepas menunaikan Ibadah Haji.
Bapak dan Pakdhe Rohmat naik kereta api pada pagi hari. Pakdhe Rohmat adalah kawan Bapak dan Ibu dan sudah seperti saudara bagi kami. Sore harinya, Aku, Ibu, dan Astri naik pesawat karena kondisi fisik Astri yang tidak memungkinkan untuk naik kereta api.
Malam hari sebelum keberangkatan kami ke Jakarta, Astri sangat senang. Dia tidak sabar membayangkan bagaimana rasanya terbang diatas awan menggunakan pesawat. Maklum, itu adalah kali pertamanya naik pesawat terbang. Saking senangnya, Dia tidak mau melewatkan barang satu menit pun untuk tidur hingga jam menunjukkan pukul 12 malam.
“Pak, aku nggak bisa tidur...,” Kata Astri
“Gimana ya Pak, rasanya terbang naik pesawat?” Tanyanya pada Bapak.
“Rasanya ya seperti itu,”
“Enak nggak bu? Nanti seperti naik komedi putar di sekaten itu bu?” Tanyanya pada Ibu
“Hmmm....,” Jawab Ibu yang sudah tidur.
“Bu.....,” Panggil Astri sambil menggoyang-goyangkan Ibu.
“Sudah to, kamu itu tidur aja, besok pagi bangun nganterin Bapak sama Pakdhe ke Stasiun. Sorenya Kamu, Ibumu, sama Mbakmu berangkat,“ Sahut Bapak jengkel.
Sore harinya, kita berangkat ke Jakarta. Di perjalanan ke bandara, Astri bernyanyi tiada henti. Dan ketika di pesawat pun dia masih tersenyum senang dan bersenandung ria.
Hingga kini, Astri tetap menjadi anak yang manja dengan sorot mata cerianya. Mungkin dengan berjalannya waktu, dia akan berubah menjadi sesosok gadis dewasa dan tidak lagi manja. Bermetamorfosis menjadi gadis ayu nan anggun. Namun kapan saat itu akan tiba, hanya Tuhan yang maha tahu. Tapi Astri tetap Astri bagi kami. Esok ataupun nanti.
Jogja, 22 Mei 2011
23:16
Diujung kamar kerja
Diterangi sorot lampu meja
No Response to "Astri"
Posting Komentar